pajangancerita.org – Gowok Kamasutra adalah tradisi kuno masyarakat Jawa yang kini dianggap tabu. Dahulu, praktik ini memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan sosial, terutama sebagai bentuk pendidikan seksual untuk remaja laki-laki. Tradisi ini diperkirakan mencapai puncaknya pada abad ke-15 dan masih eksis hingga sekitar dekade 1960-an, sebelum akhirnya perlahan hilang akibat perubahan nilai sosial dan pengaruh agama yang semakin kuat.
Dalam budaya Jawa, Gowok merujuk pada perempuan dewasa yang bertugas sebagai mentor atau pembimbing seksual bagi pemuda yang mulai baligh. Proses ini dikenal dengan istilah ‘nyantrik’. Remaja laki-laki tinggal bersama seorang Gowok selama beberapa hari hingga satu minggu untuk belajar secara langsung tentang tubuh perempuan dan cara berhubungan intim. Tujuan dari tradisi ini bukan semata untuk pemuasan hasrat, melainkan sebagai bentuk persiapan mental dan fisik menuju kehidupan pernikahan.
Novel “Nyai Gowok” karya Budi Sarjono menyebut nama Goo Wok Niang sebagai perempuan asal Tiongkok yang memperkenalkan praktik ini ke tanah Jawa, tepatnya sejak kedatangan Laksamana Cheng Ho. Seiring waktu, pelafalan berubah menjadi “Gowok”, dan tradisi ini menyatu dalam budaya lokal, terutama di Purworejo dan Banyumas.
Akulturasi Budaya dan Kembalinya Gowok Lewat Layar Lebar
Meskipun telah lama ditinggalkan, kisah Gowok kembali mencuat melalui film berjudul Gowok: Kamasutra Jawa. Film ini diproduksi oleh MVP Pictures dan Dapur Film, serta mendapat dukungan langsung dari Menteri Kebudayaan. Dalam acara pemutaran perdana, Menteri hadir dan menyatakan bahwa tradisi ini merupakan warisan budaya yang mencerminkan akulturasi sejarah dan pantas diangkat ke layar lebar.
Politisi dan budayawan Fadli Zon menyebut cerita ini sangat menarik karena menggambarkan kekayaan budaya Indonesia yang kerap terabaikan. Menurutnya, pemutaran film seperti ini dapat menjadi jembatan edukasi sekaligus hiburan yang berbasis sejarah. Ia menekankan pentingnya memahami budaya bukan dari kacamata moral saat ini, melainkan dalam konteks zamannya.
” Baca Juga: Cara Merawat Rambut Agar Tetap Kuat dan Berkilau “
Runtuhnya Tradisi Kamasutra Gowok oleh Norma Sosial dan Religius
Gowok mulai ditinggalkan ketika norma sosial dan ajaran agama mulai mendominasi cara pandang masyarakat Jawa. Sejak tahun 1960-an, praktik ini dianggap bertentangan dengan nilai moral dan keagamaan. Banyak pihak mulai menolak keberadaannya, hingga akhirnya hilang dari kehidupan masyarakat.
Namun, catatan sejarah dan karya sastra seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari tetap menyimpan jejaknya. Dalam novel tersebut, figur Gowok digambarkan sebagai pelatih seksual yang dipilih orang tua untuk membekali anak laki-laki menjelang pernikahan. Para pemuda yang telah melalui masa “pergowokan” dianggap lebih dewasa, siap menikah, dan disukai oleh perempuan.
Kini, Gowok hanya tinggal kenangan yang hidup dalam naskah, novel, dan film. Namun, warisan budaya ini tetap menjadi topik menarik untuk dikaji sebagai bagian dari perjalanan sejarah Jawa dan akulturasi budaya yang kompleks.
” Baca Juga: Membangun Hubungan Sosial yang Positif dan Produktif “