Pajangan cerita – Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional saat ini menghadapi tantangan besar yang mengakibatkan terpuruknya kinerja sektor ini. Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), industri TPT dan pakaian jadi mengalami kontraksi sebesar 0,03% secara year on year pada kuartal II-2024, serta mengalami penurunan 2,63% secara kuartalan (q to q). Penurunan ini mengindikasikan bahwa sektor ini masih jauh dari pemulihan total setelah berbagai guncangan yang dihadapinya.
Sebelum pandemi COVID-19, industri tekstil menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan. Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Adie Rochmanto Pandiangan, mengungkapkan bahwa pada tahun 2019, sektor TPT mengalami pertumbuhan sebesar 15,35%. “Kinerja industri TPT sebelum pandemi COVID-19 melanda tumbuh cukup baik dan terus meningkat, dan mencapai puncaknya di tahun 2019 dengan pertumbuhan bahkan sempat 15,35%,” ujarnya dalam diskusi virtual yang diadakan oleh INDEF pada Kamis (8/8/2024). Pertumbuhan ini mencerminkan optimisme dan potensi besar dari industri tekstil Indonesia.
“Baca juga: Bitcoin Kembali ke Level $50.000 Dalam 3 Hari Berturut-turut”
Pandemi COVID-19 yang merebak pada tahun 2020 menyebabkan dampak besar bagi industri tekstil. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan kawasan Uni Eropa, membatalkan pesanan mereka dari Indonesia. Meski demikian, industri TPT masih mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 9,3% pada tahun 2022. Hal ini sebagian besar berkat kebijakan pemerintah yang memungkinkan industri tetap beroperasi meskipun banyak negara lain menerapkan lockdown ketat. Adie Rochmanto Pandiangan menyebutkan, “Industri TPT tetap tumbuh di masa COVID-19 dan kembali mencapai puncaknya pada awal tahun 2022 yang tumbuh sebesar 9,3%.”
Namun, pemulihan tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 2023, sektor tekstil kembali menghadapi gejolak geopolitik. China mengalami surplus produksi yang besar, sementara ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat semakin memanas. “Terjadi surplus produksi dalam negeri China dan kondisi perang dagang Amerika Serikat dan China, sehingga China harus memaksa memaksimalkan pasar luar negerinya dan Indonesia menjadi salah satu tujuan utama,” jelas Adie. Hal ini menyebabkan pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk-produk impor yang berdampak negatif terhadap industri tekstil lokal.
Lemahnya kebijakan pemerintah dalam melindungi pasar domestik dari serbuan barang impor menjadi salah satu penyebab utama kemerosotan sektor tekstil. Adie mengkritik, “Pasar dalam negeri kita kurang terjaga dengan baik melalui peraturan kebijakan maupun penerapannya. Bagaimana ini nggak masuk kenapa semakin banyak barang-barang ilegal tadi masuk khususnya yang hilir.” Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum membuat industri tekstil lokal semakin tertekan.
“Simak juga: Penerapan Biodiesel B40, Menteri ESDM Pastikan Tahun Depan”
Salah satu dampak signifikan dari kemerosotan industri tekstil adalah penurunan jumlah tenaga kerja. Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah pekerja di sektor tekstil mengalami penurunan sebesar 7,5% dari tahun 2023 ke 2024. Pada tahun 2024, jumlah tenaga kerja sektor tekstil tersisa 957.122 orang, turun jauh dibandingkan dengan 1.248.080 orang pada tahun 2015. Sementara itu, jumlah pekerja di sektor industri pakaian jadi pada tahun 2024 adalah 2.916.005 orang. Meski mengalami penurunan 0,85% dibandingkan tahun lalu, jumlah pekerja di sektor ini menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan 2.167.426 orang pada tahun 2015.
Sektor tekstil Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kombinasi dari pandemi, guncangan geopolitik, dan kebijakan pemerintah yang kurang memadai. Penurunan jumlah pekerja serta tekanan dari produk impor menjadi isu yang perlu segera ditangani untuk memastikan kelangsungan dan pemulihan industri ini. Diperlukan langkah-langkah strategis untuk memperbaiki kebijakan perlindungan pasar dan mendorong pertumbuhan sektor tekstil agar dapat kembali ke jalur yang positif dan berkelanjutan.